IKLAN

pangeran jayakarta

Pangeran Jayakarta adalah nama seorang penguasa kota pelabuhan Jayakarta, yang menjabat sebagai wakil dari Kesultanan Banten. Kekuasaan Banten atas wilayah ini berhasil direbut oleh Belanda, setelah Pangeran Jayakarta dikalahkan oleh pasukan VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619.

Asal-usul Pangeran Jayakarta masih samar. Dalam situs internet Pemerintah Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun ada juga yang menganggap Pangeran Jayakarta adalah Pangeran Jayawikarta. Menurut Hikayat Hasanuddin dan Sajarah Banten Rante-rante yang disusun pada abad ke-17 (yaitu sesudah Sajarah Banten, 1662/3), Pangeran Jayakarta atau Jayawikarta adalah putra Tubagus Angke dan Ratu Pembayun, puteri Hasanuddin, anak Sunan Gunung Jati.
Menurut Adolf Heukeun SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II, silsilah ini tidak sesuai dengan sumber-sumber sekunder lain karena sumber-sumber yang digunakan oleh hikayat mengandung banyak cerita dongeng
Peran politik di Banten
Pada tahun 1596 Pangeran Muhammad, penguasa Banten ketiga, gugur waktu menyerang Palembang. Putera satu-satunya ialah Abdul Kadir, yang baru berusia lima bulan. Maka dipilihlah seorang mangkubumi yang sekaligus menjadi wali putera itu. Tetapi mangkubumi ini wafat pada tahun 1602. Maka ibu putra mahkota menjadi wali dan menikah dengan mangkubumi yang ketiga. Karena ayah tiri disayang putera mahkota Banten dan dihormati rakyat, maka para pangeran menjadi iri dan memberontak. Pangeran dari Jayakarta datang dengan banyak bawahannya sehingga pemberontak mengalah dan berdamai. 
SUMBER

Pangeran Jayakarta: Sang Bangsawan Banten 

 
ASAL-usul Pangeran Jayakarta, atau Jayakerta, masih samar. Dalam situs internet Pemerintah Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Akhmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten.

Namun, menurut sebuah sumber sejarah lain, Pangeran Jayakarta adalah putra Ratu Bagus Angke, juga bangsawan asal Banten. Ratu Bagus Angke alias Pangeran Hasanuddin adalah menantu Fatahillah atau Falatehan yang konon menantu Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, peletak dasar Kesultanan Cirebon dan Banten.
Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas Jayakerta dari Ratu Bagus Angke, yang sebelumnya memperoleh kekuasaan itu dari Fatahillah, yang memutuskan pulang ke Banten (Banten Lama sekarang) setelah berhasil merebut pelabuhan itu dari Kerajaan Pajajaran pada pertengahan Februari 1527. Waktu itu, ia juga berhasil menghalau pasukan Portugis yang juga berambisi menguasai bandar samudra nan ramai itu.
Jayakerta atau Jayakarta adalah nama yang diberikan Fatahillah bagi pelabuhan yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa. Nama baru disahkan pada 22 Juni 1527, tanggal yang hingga kini dianggap sebagai hari jadi Kota Jakarta.
Sejarah mencacat, di bawah kepemimpinan Pangeran Jayakarta kota bandar itu maju pesat, terutama di bidang perdagangan hasil bumi. Hal itu membuat Belanda, lewat perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin berusaha di sana. VOC sebelumnya sudah malang-melintang dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada November 1610, Belanda berhasil mendapat hak atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi timur muara Kali Ciliwung. Sebagai imbalan, kepada Pangeran Jayakarta Belanda membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real. Namun, di pelabuhan yang ketika itu juga disebut Jakerta, Belanda mempraktikkan sistem dagang monopoli yang licik, yang merugikan Pangeran Jayakarta. Perselisihan pun pecah dan merebak antara tahun 1610-1619.
Dalam konflik itu, Pangeran Jayakarta dibantu pasukan kiriman Sultan Banten yang juga merasa dicurangi serta pasukan Inggris, yang waktu itu juga sudah punya markas di sisi barat muara Ciliwung. Tak tahan dikeroyok, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen kabur ke Ambon, meminta tambahan pasukan.
Saat Coen masih di Maluku dan pasukan kompeni (VOC) sudah terpojok, muncul konflik baru antara Banten dan Inggris, yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta. Akan tetapi, pada saat sama, Coen tiba-tiba muncul lagi dengan membawa pasukan yang masih segar dari Ambon.
Mengusung semboyan “despereet niet” (jangan putus asa) Coen langsung memorakporandakan pasukan koalisi Banten-Jayakarta yang sudah loyo gara-gara pertempuran dengan Inggris. Bala tentara Banten melarikan diri ke arah barat dan selatan, sementara Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya mundur ke arah tenggara. Setelah menguasai Jakerta pada 12 Maret 1619, Coen mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia.
Mengecoh dengan jubah
Meski terusir dari Jakerta, Pangeran Jayakarta belum menyerah. Ajakan Belanda untuk berdamai selalu ia tolak. Pangeran Jayakarta bahkan terus melancarkan perlawanan. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di daerah Mangga Dua, ia kehilangan Syekh Badar Alwi Alidrus, panglima perangnya yang tertangkap dan dikuliti anak buah JP Coen.
Dalam pertempuran pada sekitar Mei 1619 itu, pasukan Pangeran Jayakarta dikabarkan terdesak. Mereka dikepung pasukan Belanda dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok. Menurut cerita Raden Jayanegara, juga keturunan Pangeran Jayakarta, menyebut, saat jadi buronan Belanda, kakek moyangnya itu berhasil mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur di Mangga Dua. Belanda menyangka Pangeran Jayakarta tewas setelah menembaki jubah dan sorban di sumur itu, yang kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta dan dikenal sebagai keramat Pangeran Jayakarta. [Muyawan Karim]
SUMBER


Masjid Jami As-Salafiyah (1620) atau lebih dikenal dengan nama Masjid Pangeran Jayakarta. Apa kabar masjid itu kini?

Pada tahun 1619, ketika dikejar-kejar Belanda, Pangeran Achmad Djaketra atau yang dikenal sebagai Pangeran Jayakarta melarikan diri ke daerah Mangga Dua, di sini, ia melepas jubahnya dan melemparkannya ke dalam sumur. Pasukan Belanda mengira Pangeran Jayakarta jatuh ke sumur, mereka kemudian menembaki sumur dan menganggap Pangeran Jayakarta sudah mati. Tempat ini selama bertahun-tahun diyakini sebagai makan Pangeran Jayakarta. Padahal, sebenarnya Pangeran Jayakarta belum meninggal. Ia menuju ke arah Jakarta Timur. Dahulu, daerah ini masih berupa hutan dan rawa. Pangeran Jayakarta kemudian membangun sebuah tempat pertahanan sekaligus masjid yang diberi nama Masjid Assalafiyah yang artinya masjid tertua. Daerah ini kemudian diberi nama Jatinegara yang berarti pemerintahan sejati.

Pangeran Jayakarta terus bergerilya dan mengatur strategi melawan Belanda dari Masjid Assalafiyah ini. Ia tinggal di sini hingga wafat pada tahun 1640 dan dimakamkan di tempat ini.Ia juga berwasiat kepada keturunannya agar tidak memberitahukan keberadaannya baik saat ia hidup maupun meninggal kecuali jika Belanda sudah tidak berada di negeri ini. Wasiat ini dijaga dengan baik oleh keturunan Pangeran Jayakarta, mereka menjaga masjid dan makamnya, namun hanya mereka yang tahu bahwa Pangeran Jayakarta dimakamkan di tempat ini. Orang-orang mengira makam Pangeran Jayakarta ada di Mangga Dua, tempat dimana Belanda menyangka ia tewas dahulu. Demi menjaga wasiat Pangeran Jayakarta, keturunan Pangeran Jayakarta tidak menikah dengan orang lain di luar keluarga Pangeran Jayakarta.

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1960-an, barulah keturunan Pangeran Jayakarta memberitahu kepada masyarakat bahwa keberadaan makam Pangeran Jayakarta yang sebenarnya ada di Masjid Assalafiyah. Kini, masjid Assalafiyah ditetapkan menjadi cagar budaya dan suaka peninggalan sejarah. Pengelolaannya berada di bawah dinas kebudayaan dan permuseuman DKI Jakarta.

Saat ini Masjid Assalafiyah dirawat oleh R Suprijadi Rosjid salah seorang keturunan Pangeran Jayakarta yang selain mendapat peninggalan berupa makam dan masjid juga mendapat peninggalan berupa senjata Biring Galih dan Biring Lanang, yang memiliki makna jaya di laut dan jaya di darat. selain mendapat amanah dari Pangeran Jayakarta selaku keturunannya, Rosjid juga mendapat Surat Keputusan Gubernur yang menyatakan bahwa ia ditugaskan sebagai juru pelihara masjid dan makam.

Rosjid yang tadinya adalah pengusaha mebel rela menomorduakan usahanya demi menjalankan amanah sebagai juru pelihara masjid dan makam. Pria dengan delapan anak dan tiga cucu ini lebih banyak mengandalkan pendapatan dari honor sebagai juru pelihara masjid dan makam. Lagipula, di usianya yang menginjak 58 tahun ia merasa sudah saatnya ia pensiun dari usaha mebelnya. Rosjid mengatakan, perhatian Pemerintah kepada keberadaan bangunan bersejarah ini sudah baik. Setiap Gubernur pasti memasukkan anggaran untuk pemugaran Masjid Assalafiyah di setiap periodenya, ujarnya.

Masjid Assalafiyah pada awal dibangun di tahun 1620 hanya merupakan masjid kecil dengan empat tiang pokok dan satu cungkup (atap masjid). Pada tahun 1700, Pangeran Sogiri melakukan pemugaran. Pemugaran juga dilakukan oleh Tubagus Aya Kasim pada tahun 1884. keluarga Jatinegara Kaum sendiri juga secara swadaya melakukan pemugaran pada tahun 1933. setelah merdeka, pemerintah mulai mengambil alih urusan pemugaran ini. Pada tahun 1968 Gubernur Ali Sadikin melakukan pemugaran yang cukup besar. Masjid Assalafiyah diperluas ke belakang, lalu dibangun dua lantai, dan dibangun menara baru.

Gubernur Suryadi Sudirja sempat memugar masjid ini sebanyak dua kali, yaitu pada periode 1992-1993 dan periode 1994-1995. masjid ini terakhir kali dipugar oleh Gubernur Sutiyoso pada periode 2003-2004. walaupun sudah banyak dipugar, bangunan Masjid Assalafiyah masih sangat mempertahankan keasliannya, yaitu bangunan asli yang terdiri dari empat pokok, masih dipertahankan dari mulai pokok dari kayu jati hingga atapnya. Bahkan gentingnya pun masih asli.
Di hari-hari biasa, selalu ada saja pengunjung yang berziarah ke makam Pangeran Jayakarta. Kegiatan rutin di masjid ini tidak berbeda dengan masjid pada umumnya. Ada pengajian remaja setiap hari Jumat malam, ada pengajian ibu-ibu di hari Minggu, juga pengajian untuk umum pada hari Sabtu. Sementara, di hari-hari besar, ada beberapa peringatan yang diadakan di Masjid Assalafiyah. Sebagaimana layaknya masjid, setiap hari besar islam dirayakan disini, seperti hari Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan tahun baru Islam. Ulang Tahun Jakarta atau Haul Pangeran Jayakarta sendiri sudah menjadi agenda Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mengadakan peringatan sekaligus ziarah ke makam Pangeran jayakarta.
SUMBER




Pangeran Jayakarta, Membumihanguskan Sunda Kelapa

Ia seorang panglima yang mampu mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Juga seorang Ulama Muda yang berhaasil mensyiarkan Agama Islam lebih marak di Tanah Jawa.
Awal abad ke 16, seorang Ulama Muda asal Samudera Pasai baru saja pulan dari Mekkah. Seperti pemuda Aceh lainnya, ia tidak bisa lagi menginjakkan kakinya ditanah kelahirannya, untuk menyebarkan agama Islam. Pasalnya, Portugis sangat ketat mengawasi masyarakat bumiputra yang mensyiarkan agama Islam, lebih-lebih yang baru kembali dari tanah suci. Ulama muda itu adalah Fadhilah Khan, orang Portugis mengucapkannya dengan nama Fatahillah atau Falatehan.
Portugis memang berbeda dengan Belanda, tidak ingin ajaran Islam makin meluas. Mereka khawatir, melalui ajaran-ajaran Islam yang mulai banyak dianut, akan tumbuh semangat persatuan, antar kerajaan kecil, yang pada gilirannya akan berhimpun menjadi sebuah kekuatan besar. Untuk itu, tidak ada sebuah celah sedikitpun yang disisakan Portugis bagi upaya meluasnya hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Demikian pula terhadap kedatangan tokoh agama, seperti tokoh ulama muda Fadhilah Khan.
Namun niat, tekad, dan semangat pemuda ini untuk mensyiarkan agama Islam, tidak mengendur sedikitpun. Sebelum berangkat ke Mekah, ia sudah tahu jalinan hubungan baik antar kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Demak di Jawa. Ia berpikir, kelak jika tidak bisa masuk ke tanah kelahirannya usai menuntut ilmu di Mekah, ia bertekad menuju Demak. Pada masa itu hanya ada tiga kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, yaitu Demak, Banten, dan Cirebon, di wilayah Utara Jawa Barat.

Pangeran Jayakarta
Tetapi setelah dipertimbangkan Fatahillah memilih singgah lebih dulu di kerajaan Cirebon sebelum ke kerajaan Demak, sebab kerajaan ini dianggap paling aman. Kekuasaan Portugis di wilayah ini kurang kuat. Armadanya hanya mondar-mandir dari Sunda Kelapa ke pelabuhan Cirebon tanpa menetap.
Tanpa banyak rintangan, Fatahillah berhasil menyusup ke Cirebon. Saat itu syiar Islam sudah cukup marak di daerah ini. Berkat kehadiran Sunan Gunung Jati dan Syekh Siti Jenar kehadiran Fatahillah tentu saja menambah semangat perjuangan. Bersama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ia mensyiarkan agama Islam di tanah Sunda ini, bahkan ia sempat menjadi warga kehormatan di kerajaan Cirebon.
Cukup lama pemuda Aceh ini menetap di Cirebon. Ia menikah dengan Ratu Ayu, anak pasangan Syarif Hidayatullah dan Nyai Kawunganten asal Banten. Istri Fatahillah kemudian dikenal dengan nama Putri Wulung Ayu.
Setelah cukup lama menyebarkan agama Islam di Jawa Barat bersama sang mertua, niat utama Fatahillah untuk menuju Demak akhirnya tercapai juga. Itu dimungkinkan karena Kharisma dirinya yang telah lebih dulu masuk ke Demak.
Sultan Trenggana yang memimpin kerajaan Demak, sangat senang atas kehadiran Fatahillah. Ia merasa memperoleh petujuk dari Allah SWT tentang figur yang cocok untuk memimpin serangan  ke Sunda Kelapa, kota pelabuhan terpenting bagi kerajaan Hindu, Pajajaran (Bogor). Munculnya Fatahillah dapat memperkuat jajaran pertahanan Islam di wilayahnya sehingga Demak dapat menyerang Sunda Kelapa bersama sisa pasukan Pangeran Laut.
Dalam waktu singkat, Fatahillah mulai dikenal masyarakat sebagai ulama muda yang berpengaruh dengan pikiran yang cemerlang. Sultan Trenggana memperlakukannya seperti saudara kandung, bukti kasih dan sayang Sultan Demak ini diwujudkan dengan menikahkan Fatahillah dengan adik perempuannya, putri Pamboya atau Ratu Ayu Pembayun. Sultan Trenggana tahu, Fatahillah telah mempunyai isteri di Cirebon, tapi perkawinan Fatahillah dengan adiknya itu tidak akan memperkeruh suasana, bahkan akan memperkuat hubungan keislaman dan jalinan persaudaraan dengan Cirebon. Sang mertua, Sunan Gunung Jati malah merestui pernikahan itu.
Sultan Trenggana memberikan persetujuan terhadap rencana Fatahillah untuk mengusir Portugis yang bercokol di tanah Sunda atau Sunda Kelapa. Tapi sebelumnya ia akan mensyiarkan Islam di Banten dan menselaraskan pandangan dengan adik iparnya, Sultan Hasanuddin atau Pangeran Sabakingking, yang memerintah Banten. Bagi Fatahillah penyelarasan pandangan dengan kesultanan Banten itu sangat penting. Sebab ia khawatir, Banten akan jalan sendiri menyerang Portugis.
Pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan dari Demak, Cirebon dan Banten, di bawah pimpinan Fatahillah berhasil merebut Banten. Kelak tanggal 22 juni dijadikan sebagai hari jadi kota Jakarta. Fatahillah kemudian mengganti nama Bandar kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kejayaan dan kesejahteraan, atau kemenangan yang sempurna. Kebetulan para pelaut bangsa Eropa sering menyebut Bandar ini dengan Yacarta, dan penduduk setempat menyebutnya dengan Jakarta. Namun pengamat sejarah Prof. DR. Ayatrohaedi, nama Jakarta adalah pilihan Sunan Gunung Jati, penguasa Caruban (Cirebon) sebagai atasan Fatahillah, yang menjadi panglima pasukan gabungan itu.
Sejak saat itu, berakhirlah masa Sunda Kelapa, dan mulailah masa Jayakarta yang berlangsung hampir satu abad (1527-1619). Fadhilah Khan diangkat sebagai penguasa Jayakarta yang pertama dengan gelar Adipati sampai ia meninggal pada tahun 1570. setelah itu jabatan Adipati Jayakarta dipegang oleh Ki Bagus Angke (1570-1596). Pangeran Jayakarta Wijayakrama (1596-1619). Pada tahun 1619, VOC membumihanguskan Jayakarta, dan di atas puingnya didirikan kota baru yang mula-mula bernama Nieeuw Hoors, kemudian diganti menjadi Batavia.
Pada masa pemerintahan Fatahillah itulah, pelabuhan Sunda Kelapa mampu menyaingi kejayaan pelabuhan Malaka yang lebih dulu menjadi pelabuhan perantara bagi perdagangan dunia. Posisi Sunda Kelapa semakin penting dan ramai sehingga hasil bumi Pejajaran bisa lebih cepat diangkut ke Sunda Kelapa sebagai komuditas yang siap jual. Pasalnya Fatahillah mampu membuat jalan tembus dengan membuka rawa-rawa di daerah Bogor sekarang. Ia juga menghapus tindakan monopoli perdagangan. Semua pedagang dari semua bangsa bebas berniaga langsung dari tangan pertama, yaitu para pedagang bumiputra yang mendapat bantuan dari penguasa asal Demak itu. Banten dan Cirebon pun berubah menjadi Bandar Metropolitan, sementara Jayakarta segera dijadikan daerah utama dalam koordinasi Demak.
Fatahillah juga meningkatkan hubungan dengan Kesultanan Banten, seperti halnya dengan Cirebon dan Demak. Eratnya hubungan itu hingga sampai pada pengganti Sultan Maulana Hasanuddin, yaitu Sultan maulana Yusuf, putra Sultan Maulana Hasanuddin.
Fatahillah berhasil memperluas wilayahnya sampai Grogol dan Slipi di Jakarta Barat. Wilayah Pulo Gadung sampai Jatinegara di Jakarta Timur Sekarang. Wilayah Pasar Minggu, Depok hingga Bogor diluar Jakarta Selatan, serta wilayah Cilincing di wilayah Jakarta Utara.
Dalam masalah birokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan Adipati sebagai penguasa yang memperoleh otonomi dari Demak. Dengan otonomi yang sangat luas itu termasuk dengan hal yang berkenaan dengan transaksi perniagaan dan pengembangan kota.
Fatahillah membangun masjid yang cukup besar di Muara Sungai Ciliwung, yang dikenal dengan masjid Luar Batang, sebagai tempat berkumpulnya para ulama yang sebelumnya datang ke masjid agung para wali di Demak.
Fatahillah memperkuat tahta dengan bersama empat Pangeran pembantu setianya, Pangeran Wijayakrama, dan Arya Adikara asal Banten, Wijaya Kusuma asal Demak, serta Pangeran Zakaria. Arya Adikara adalah putra Wijayakrama yang sebelumnya bernama Kawis Adimarta. Sedang Wijayakrama adalah putra Ki Tubagus Angke yang pernah mempin serangan Sunda Kelapa.
Keempat pangeran itu sengaja diberi julukan yang sama dengan julukan Fatahillah, yaitu Pangeran Jayakarta, untuk mengelabui Belanda. Fatahillah mempercayakan kepada keempat Pangeran yang dikepalai oleh Pangeran Zakaria untuk mengatur kekuasaan berikutnya di Jayakarta sebelum akhirnya ia sendiri menghilang entah kemana.
Fatahillah juga merahasiakan pengangkatan keempat Pangeran ini, agar perjuangannya melawan penjajah bisa terus bergema. Rahasia itu berhasil dijaga para pengikut setianya untuk waktu yang cukup lama, sehingga banyak pihak terkecoh dan kecewa. Belanda menduga, Pangeran Jayakarta tetap hidup dan menjadi bayangan yang sangat menakutkan. Berita-berita kematian Pangeran Jayakarta tidak dipercaya.
Di kalangan rakyat, kematian Fatahillah tetap menjadi sesuatu yang misterius hingga terjadi serangan Belanda. Sampai saat ini rakyat hanya mengenal satu makam Fatahillah alias Pangeran Jayakarta, yaitu di bilangan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Namun sebagian ahli sejarah menyatakan, makam itu bukan makam Fatahillah, melainkan makam Pangeran Zakaria.
Pada 1620, sebelum kejayaannya berakhir, Pangeran Zakaria membangun sebuah masjid di kawasan yang sekarang ini disebut Jatinegara Kaum. Masjid yang awalnya seluas 100 meter persegi itu merupakan tempat pertahanan Pangeran Jayakarta. Kepada keluarganya ia minta agar merahasiakan keberadaannya. Tempat itu menjadi komunitas untuk menyiarkan agama Islam, termasuk warga Jatinegara Kaum.
Pembukaan kawasan itu terjadi pada 1619 ketika Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Pangeran Jayakarta bersembunyi di area hutan Jati dan menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda. Demikian pentingnya tempat persembunyian ini, sampai-sampai penduduk Jatinegara Kaum dilarang menikah dengan orang di luar komunitas tersebut, sehingga kekeluargaan yang kental. Dan masjid yang semula tak bernama itu kemudian dikenal sebagai masjid Pangeran Jayakarta atau masjid Jatinegara Kaum.
Di komplek masjid yang sekarang luasnya 7.000 meter itu dimakamkan lima petinggi, yakni Pangeran Ahmad Djakerta, Lahut Djakerta, Soeria bin Pangeran Padmanegara, serta suami istri Ratu Rupiah putri dan Pangeran Sageri. Selebihnya adalah makam keluarga beserta kerabat yang masih keturunan Pangeran Jayakarta.
Sumber Gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Pangeran_Jayakarta.jpg
SUMBER

Pangeran Jayakarta: Meretas Jejak Sejarah Sosok Pahlawan yang Namanya Menjadi Ibu Kota


Siapa sebenarnya Pangeran Jayakarta? Adakah cerita di balik sosoknya yang lekat dengan nama Jakarta? Bagaimana pula perjuangannya saat menghadapi VOC?

Pangeran Jayakarta atau nama lainnya Pangeran Akhmad Jakerta adalah putra dari Pangeran Sungerasa Jayawikarta yang berasal dari Kesultanan Banten. Sumber sejarah lain menyebutkan bahwa ia adalah putra dari Ratu Bagus Angke atau Pangeran Hasanuddin, yaitu menantu Fatahillah.

Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas pelabuhan ini dari dari Fatahillah yang berhasil merebutnya pada Februari 1527 dari Kerajaan Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis. Fatahillah kemudian mengganti namanya dari Sunda Kelapa menjadi Jayakerta atau Jayakarta. Nama itulah yang perlahan berubah menjadi Jakerta atau Jakarta pada 22 Juni 1527 dan sekarang dijadikan sebagai hari jadi Kota Jakarta. Pangeran Jayakarta menjadi penguasa kota Pelabuhan Jayakarta sekaligus wakil Kesultanan Banten.

Pangeran Jayakarta memimpin pelabuhan ini sebagai bandar yang ramai disinggahi kapal dagang Eropa dan Asia saat itu. Di saat yang sama sebuah perusahaan dagang asal Belanda, yaitu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) secara perlahan ingin menguasainya. VOC sendiri sebelumnya sudah menguasai perdagangan rempah-rempah Nusantara yang berpusat di Maluku.

VOC kemudian membeli tanah seluas 1,5 hektar di sisi timur muara Kali Ciliwung. Catatan sejarah pada November 1610 menjelaskan bahwa Kapten Jacques L’Hermite membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real kepada Pangeran Jayakarta. Inilah pertama kali VOC berhasil membangun sebuah gudang permanen pertamanya yang terbuat dari kayu dan batu dan diberi nama Nassau Huis. Bukan hanya Belanda yang tertarik dengan pelabuhan ini, Inggris pun saat itu mendirikan benteng di sisi barat muara Kali Ciliwung.

Di tanah yang luasnya tidak seberapa itu kemudian VOC memonopoli perdagangan sehingga menimbulkan perselisihan dengan Pangeran Jayakarta. Bahkan, saat VOC dipimpin Jan Pieterzoon Coen, kemudian dibangun gedung kembaran Nassau Huis yang bernama Mauritius Huis. Di antara kedua gedung tersebut kemudian dibangun tembok berbentuk benteng segi empat dengan tinggi sekira 6 meter dilengkapi meriam di setiap sudutnya. Konflik pun semakin meruncing dari persaingan dagang ke perebutan pelabuhan strategis perdagangan. Pecahlah perang pertama di sini dimana pasukan Pangeran Jayakarta yang dibantu Kesultanan Banten berhasil mengalahkan VOC. Jan Pieterszoon Coen dan pasukan VOC kemudian mundur sejenak ke Ambon untuk mempersiapkan serangan balik dengan jumlah pasukan yang lebih besar.

Konflik dalam waktu yang sama bukan saja dengan VOC, nyatanya di kawasan ini juga pecah perang antara Kesultanan Banten dengan Inggris. Pasukan Inggris berhasil diusir dari Jayakarta. Akan tetapi, baru saja perang usai, tiba-tiba pasukan VOC kembali ke sini dengan pasukan lebih besar dari Ambon. Jan Pieterszoon Coen memimpin pasukan dengan misi balas dendam bersemboyankan “Despereet Niet” atau “Jangan Putus Asa”. Kesultanan Banten dan Pasukan Jayakarta yang baru saja berperang dengan Inggris mengalami kelelahan sehingga berhasil dipukul mundur dari pelabuhan ini ke arah tenggara.

Dengan kemenangan tersebut, VOC kemudian menguasai hampir seluruh kawasan Pelabuhan Jayakarta (Sunda Kelapa). VOC membumihanguskan kawasan ini beserta seluruh isinya termasuk Keraton Jayakarta. Sejarah mencatat pada 12 Maret 1619, Jan Pieterszoon Coen kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta) dan membangun kota baru yang dikelilingi benteng dengan nama Batavia tepat di atas reruntuhan Jayakarta.

VOC membangun sebuah kota berbudaya Eropa yang mirip seperti Kota Amsterdam di Belanda. VOC juga melakukan pengusiran terhadap orang-orang Banten, Cirebon dan Demak dari wilayah sekitar kota. Perlahan tapi pasti dari sinilah kemudian VOC menguasai seluruh Nusantara dengan benteng-benteng baru yang melindunginya di Kepulauan Seribu. (Baca juga artikel: Jejak Sejarah VOC dan Hindia Belanda yang Menggetarkan Hati di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu)

Mundurnya pasukan Pangeran Jayakarta ke arah tenggara Jayakarta bukan berarti selesai peperangan. Ketika diajak berdamai oleh VOC pun ia menolak, bahkan bersama pasukannya justru gencar menyerang pelabuhan ini dari berbagai sisi. Perang 9 tahun itu menyisakan beberapa cerita heroik dari keturunan Pangeran Jayakarta dan pasukannya. Salah satunya adalah saat Panglima Perang Syekh Badar Alwi Alidrus terdesak di daerah Mangga Dua kemudian ditangkap dan dikuliti tentara VOC atas perintah Jan Pieterszoon Coen. Pangeran Jayakarta  juga terdesak di daerah ini namun berhasil meloloskan diri dengan melepas jubah dan sorbannya yang dibuang ke sebuah sumur dan pasukan VOC mengiranya tewas. Mereka kemudian menghentikan pengejaran dan menimbun sumur dengan tanah. Sumur yang berlokasi di Jalan Pangeran Jayakarta tersebut dikenal sebagai Keramat Pangeran Jayakarta.

Pangeran Jayakarta memutuskan untuk mundur ke selatan bersama pasukannya hingga tiba di hutan jati sekitar tepian Kali Sunter. Sejak tahun 1619 daerah tersebut dikenal sebagai Jatinegara Kaum. Kata jati bermakna setia dan kata negara bermakna pemerintahan, makna jatinegara diartikan sebagai pemerintahan yang sejati. Dengan nama ini, Pangeran Jayakarta berusaha membuktikan bahwa pemerintahannya masih berjalan meskipun Jayakarta telah direbut oleh Belanda dan diubah menjadi Batavia. Dari sini juga Pangeran Jayakarta dan pengikutnya bergerilya sehingga membuat Batavia tidak pernah aman selama 80 tahun.

Pangeran Jayakarta juga membangun sebuah masjid di Kali Sunter tahun 1620 untuk menggalang kekuatannya kembali. Masjid tersebut dinamai Masjid As-Salafiyah (bermakna tertua). Masyarakat sekitar sempat menyebutnya sebagai Masjid Pangeran Jayakarta. Di masjid inilah para pengikut setia Pangeran Jayakarta baik itu ulama, tokoh masyarakat, maupun jawara sering berkumpul untuk menyusun strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus melakukan dakwah Islam.

Tahun 1640 Pangeran Jayakarta wafat dan dimakamkan dekat Masjid As-Salafiah (kawasan Jatinegera Kaum, Jakarta Timur) bersama keluarga dan pengikutnya. Menurut cerita bahwa makam terakhir bangsawan Banten itu pernah dirahasiakan keberadaannya hingga tiga abad. Makam Pangeran Jayakarta baru diumumkan tahun 1965 bertepatan dengan HUT DKI ke-429, pada masa Gubernur Henk Ngantung.

Makam Pangeran Jayakarta sempat dipugar beberapa kali, yaitu pertama kali tahun 1700 oleh Pangeran Sageri. Pemugaran kedua tahun 1842 oleh Aria Tubagus Kosim. Pemugaran ketiga tahun 1969 oleh Gubernur DKI H. Ali Sadikin, dimana dibangun dua lantai dengan menara baru. Pemugaran keempat tahun 1992 oleh Gubernur DKI H. Suryadi Soedirdja. Kini Makam Pangeran Jayakarta banyak diziarahi pengunjung terutama bulan Juni menjelang Hari Ulang Tahun Kota Jakarta.

Apabila Anda ingin menyusuri kisah Pangeran Jayakarta dan VOC maka sambangi juga Jalan Pangeran Jayakarta. Di kawasan ini ada beberapa jejak VOC dimana pada abad ke-17 jalanan tersebut merupakan kawasan elit. Salah satu Gubernur Jenderal Belanda, yaitu Van den Parra pernah mendirikan rumah peristirahatan megah di sini.

Di Jalan Pangeran Jayakarta dapat Anda temukan juga Masjid Mangga Dua yang lokasinya tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Jakarta Kota. Masjid ini dibangun tahun 18S7 oleh Sayyid Abubakar Bin Sayyid Aluwi Bahsan Jamalullail, yaitu keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad Saww yang menikah dengan putrinya Fatimah Azzahra). Sayyid Abubakar Bin Sayyid Ali Bin Abi Thalib dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam di kawasan ini. Masjid yang berusia ratusan tahun tersebut tidak banyak berubah hanya perbaikan di sana sini dan perawatan secara berkala. Di masjid ini dapat Anda temukan makam Sayyid Abubakar Bin Sayyid Ali Bin Abi Thalib dan enam sahabatnya yang sering diziarahi pengunjung. Ada pula beberapa makam ulama dari Hadramaut, makam Sultan Bone, dan para habib dari keluarga Jamalullail. 

SUMBER

Makam
Makam Pangeran Jayakarta terletak di Jl. Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Saya melewati jalan ini hampir setiap hari selama lebih dari lima belas tahun untuk mengantar ketiga anak saya ke LabSchool Rawamangun, dan sampai sekarang masih sering melewati jalan itu jika pergi ke Kelapa Gading, tanpa tahu nama jalannya, sampai minggu yang lalu.
Tidak terpikir sama sekali bahwa di sana ada sebuah makam yang memiliki kedekatan dengan sejarah kota Jakarta, dan memerlukan waktu lebih dari 23 tahun untuk mendapat pencerahan, sejak mulai tinggal di Jakarta. Saya percaya bahwa anda pun pernah atau akan pernah mempunyai pengalaman seperti itu.
Makam Pangeran Jayakarta
Lokasi Makam Pangeran Jayakarta terletak beberapa meter dari jalan, di dalam suatu bangunan persegi di bawah pohon raksasa yang rindang. Di sana tersedia tempat parkir untuk kendaraan roda dua, namun mobil harus parkir di pinggiran jalan.
Adalah Fatahillah yang merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta paka 22 Juni 1572, setelah mengambil alih kota pelabuhan yang sibuk ini dari kerajaan Pajajaran dan lalu mengalahkan tentara kolonial bangsa Portugis. Fatahillah lalu menyerahkan kepada menantunya, yaitu Tubagus Angke yang berasal dari keluarga bangsawan Banten, untuk memerintah Jayakarta.
Pangeran Jayakarta berhasil mengusir Jan Pieterszoon Coen dan tentara VOC-nya dari Jayakarta dalam suatu perselisihan dagang yang bermula pada 1610, namun Coen kembali lagi dengan membawa tentara dari Ambon dan mengalahkan Pangeran Jayakarta pada 1619. Coen lalu merubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Adalah balatentara pendudukan Jepang selama Perang Dunia II yang kemudian merubah namanya menjadi Jakarta.
Makam Pangeran Jayakarta
Area Makam Pangeran Jayakarta dinaungi sebuah pohon beringin yang ukurannya sungguh luar biasa besar. Menakjubkan bahwa pohon itu masih bisa bertahan dalam lingkungan yang keras seperti Jakarta.
Makam Pangeran Jayakarta
Seorang peziarah terlihat tengah khusuk berdoa di depan Makam Pangeran Jayakarta. Terdapat beberapa makam di dalam bangunan Makam Pangeran Jayakarta, dan sebuah guci porselen diletakkan di masing-masing makam itu.
Makam Pangeran Jayakarta
Konon Makam Pangeran Jayakarta ini telah disembunyikan selama lebih dari tiga ratus tahun, karena khawatir akan dihancurkan oleh penguasa Belanda.
Makam Pangeran Jayakarta
Semoga Makam Pangeran Jayakarta bisa terus dinaungi oleh pohon besar ini!!
Makam Pangeran Jayakarta
Sebuah pemandangan di dalam masjid As-Salafiyah yang telah berumur 389 tahun, yang juga dikenal sebagai Masjid Pangeran Jayakarta, terletak di samping Makam Pangeran Jayakarta. Masjid ini didirikan pada 1620.
Makam Pangeran Jayakarta
Bedug masjid yang khas di kompleks Makam Pangeran Jayakarta, yang dipukul lima kali sehari untuk menandai dimulainya waktu shalat. Jenis bedug yang sama, biasanya dalam ukuran yang lebih kecil juga bisa ditemukan di beberapa kelenteng yang pernah saya kunjungi.

Makam Pangeran Jayakarta

Jl. Jatinegara Kaum
Jakarta Timur
GPS: -6.202315, 106.9008809 (lihat Peta
Akses ke Makam Pangeran Jayakarta:
Ada banyak pilihan jalan untuk menuju Makam Pangeran Jayakarta. Dari Jl. Pemuda, ambil jalan ke arah Pulo Gadung; lewati lampu merah Arion Plaza; belok ke kanan di lampu merah Tugas ke arah Klender sampai bertemu lampu merah berikutnya; belok ke kanan di lampu merah untuk masuk ke Jl. Jatinegara Kaum. Masjid dan makam akan terlihat di sebelah kanan jalan.
Terkait Makam Pangeran Jayakarta
Tempat Wisata di Jakarta | Peta Wisata Jakarta | Hotel di Jakarta Timur. Tulisan lain tentang Makam Pangeran Jayakarta bisa dibaca di sini.

SUMBER

2 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus kisahnya

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Yang di daerah Mangga Dua adalah petilasan Pangeran Jayakarta, makam Pangeran Jayakarta di Jatinegara Kaum

Posting Komentar

apakah anda suka ?...