IKLAN

Selasa, 02 Agustus 2011

Sejarah Puasa Ramadhan

Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah yang berbunyi : Islam didirikan atas 5 [perkara]:

1. Bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya
2. Mendirikan shalat
3. Menunaikan zakat
4. Berpuasa di bulan Ramadlân, dan;
5. Melaksanakan haji bagi yang mampu

Hadits tersebut sangat populer di kalangan muslim karena menjadi tiang atau dasar bagi sendi-sendi syariat Islam. Selain karena menjadi tiang, alasan kepopuleran lainnya adalah karena Nabi Muhammad SAW menjelaskan rukun-rukun itu ketika malaikat Jibrîl yang menjelma menjadi seorang pemuda menanyakannya.

Kata Ramadlân berasal dari akar kata dasar r-m-dl, atau ra-mi-dla yang berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata itu berkembang –sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab– dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumunâ, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”. Ar-Ramadlu juga bisa diartikan “panas yang diakibatkan sinar matahari”. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ramadlân adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi, penulis merasa pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.

Demikianlah istilah bulan Ramadlân diambil dari kalimat ramidla-yarmadlu, yang berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadlân ini disampaikan oleh Muhammad bin Abû Bakar bin Abdul Qâdir Al-Râzî [w. 721 H.] dalam kamus Mukhtâru-sh-Shihhâh dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzûr Al-Mashrî [630-711 H.], yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzûr, dalam karya monumentalnya, Lisânu-l-‘Arab.

Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyâm atau Shaûm –keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Sha-wa-ma–, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain [Al-Syaukânî, 1173-1255 H., Fathu-l-Qadîr]. Shiyâm atau Shaûm merupakan qiyâm bilâ ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’. Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan [harakât], baik gerakan itu berupa: berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya. Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil dalam Al-Âlûsî– mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu Shiyâm, sedang ber-puasa. Selain itu, puasa, sebagaimana penulis sebutkan di atas, berarti ‘menahan’ dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ itu telah ditentukan oleh syariat. Dengan begitu, dalam syariat, puasa memiliki pengertian tersendiri.

Makna puasa yang “menahan” ini juga terlihat jelas tatkala kita menelusuri sejarah bahasa shiyâm atau Shaûm.

Ibnu Mandzûr, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaûm sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Al-Qur’an, misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan-cemoohan orang-orang kepadanya, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” [QS. 19:26]. ‘Puasa’ yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah “menahan untuk tidak bicara”.

Di sini, sifat ‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhâhir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahîr atau fisik. Pantaslah jika Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ –memperlihatkan kebaikan tertentu– adalah puasa.

Melihat keterangan-keterangan Ibnu Mandzûr dan Al-Râzî tersebut di atas, baik tentang makna Ramadlân maupun puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syariat puasa, setidaknya, bersamaan waktunya dengan kelahiran bulan Ramadlân. Hal tersebut bisa dibenarkan, tentunya, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi makna yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama ‘panas’ atau ‘kering’ yang disebabkan ‘berpuasa’.

Muncul pertanyaan, sejak kapan pastinya bulan Ramadlân itu ada dan sejak kapan pastinya puasa Ramadlân disyariatkan, sehingga beliau berdua mengaitkan syariat ini dengan maknanya sebagai “panas, kering atau haus”? Dan sejak kapan puasa diberlakukan kepada umat manusia? Bagaimana dengan puasa-puasa terdahulu yang dilakukan tidak di bulan Ramadlân? Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis bahas dengan menelaah kembali ayat Al-Qur’an yang menyangkut syariat untuk melakukan puasa.

Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi,”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa…”. Ayat tersebut turun tanpa sebab-sebab tertentu, sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat ahkâm –ayat yang berkenaan dengan hukum–, yang turun setelah ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada Nabi SAW atau para sahabat.

Pada ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah [Madanî] ini telah disebutkan sebuah informasi yang menyatakan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”.

Ada dua [2] persoalan pokok pada ayat tersebut yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana diwajibkan”. Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di bulan Ramadlân, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain [?].

Pada persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori Sa’îd bin Jabîr RA [w. 95 H.], yang cenderung memaknai hukum tasybîh [penyerupaan atau penyamaan] itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syariat tersebut, walaupun telah menjadi ‘sejarah’ serta tidak dilakukan di bulan Ramadlân yang sudah dikenal. Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT tentang bermacam-macamnya syariat bagi masing-masing umat manusia, “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu –maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat yang sebelumnya–, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” [QS. 5:48].

Pendapat kedua lebih terfokus pemahamannya kepada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya berpuasa. Lebih tepatnya, pendapat kedua ini mengarahkan perhatiannya kepada ayat selanjutnya, pada ayat 184, yang berbunyi, “[yaitu] dalam beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât]. Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadlan sebagaimana kaum muslimin lakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.

Dasar pendapat ini tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal itu. Antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar RA [w. 73 H.], sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsîr [701-774 H.] dalam tafsirnya, bahwa Nabi SAW bersabda “Puasa bulan Ramadlân telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”.

Pada pendapat yang kedua ini masih terjadi ikhtilâf [perbedaan], apakah selama “beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât] berpuasa –yang diwajibkan pada kaum dahulu itu– adalah berupa sebulan penuh dalam Ramadlân atau bulan-bulan lainnya [?].

Ada dua [2] pendapat, pertama menyatakan bahwa puasa yang disyariatkan pada umat terdahulu adalah berupa puasa selama tiga [3] hari pada setiap bulan. Abdullâh bin ‘Abbâs RA [w. 69 H.] mengatakan, ”Syariat sebelumnya adalah puasa tiga hari setiap bulan, lalu syariat ini di-nasakh dengan syariat yang baru, melalui surat Al-Baqarah ayat 185” [Tafsîr Zâd-l-Mashîr]. Pendapat kedua mengklaim bahwa “hari-hari tertentu” yang dimaksud adalah bulan Ramadlân itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadlân jugalah umat-umat dahulu diwajibkan berpuasa.

Al-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadlân. Tetapi, karena mereka merasakan berat, mereka kemudian merubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarîr [224-310 H.] secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syariat puasa di bulan Ramadlan bagi Nasrani [Tafsîr al-Thabarî]. Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syariat puasa di bulan Ramadlân, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w. 1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî, merupakan klaim mereka bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.

Perbedaan kedua –dalam menelaah ayat syariat puasa itu– adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah ”orang-orang ahlul kitâb”, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam [Yahudi dan Nasrani]. Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasrani-lah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad SAW.

Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. “Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”. Penulis belum menemukan keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang menerangkan lebih jauh tentang puasa tersebut.

Dalam konteks sejarah yang lain, syariat puasa nampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. Sayyidah ‘Aisyah RA menceritakan –seperti yang diriwayatkan oleh Hisyâm bin ‘Urwah—bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Âsyûrâ, walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadlân. Puasa di bulan ‘Âsyûrâ masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah.

Masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syariat puasa pada umat dahulu. Al-Dlahâk, dalam riwayat Ibnu Abî Hâtim, mengatakan bahwa puasa pertama kali disyariatkan di zaman Nabi Nuh AS, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad SAW. Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w. 1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî, dengan berdasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar itu, lebih percaya bahwa puasa Ramadlân disyariatkan sejak Nabi Adam AS. Al-Zamakhsarî [467-538 H.] melalui telaahnya atas asal usul bulan Ramadlân juga menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama [‘Ibâdah Qadîmah ].

Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullâh bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang semuanya telah penulis singgung di atas, nampak jelas bahwa “puasa pada bulan Ramadlân” telah disyariatkan kembali kepada manusia –tidak hanya kepada umat Muhammad SAW– setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad SAW adalah meluruskan dan memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang –sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an– telah di-tahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Nah, pelurusan dan penguatan syariat pada era Islam ini melahirkan dugaan dari para sarjana Barat, bahwa syariat agama Islam tidaklah murni melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya.

Mengenai kata Ramadlân, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi SAW di atas –riwayat Abdullâh bin ‘Umar RA– dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, penulis merasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadlân. Yang penulis maksudkan adalah, ketika Al-Qur’an atau Nabi SAW menyebut kata Ramadlân, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Artinya, makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab.

Dengan demikian, kita bisa memastikan pula bahwa bulan Ramadlân itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan kepada umat manusia. Karena, makna Ramadlân itu sendiri adalah waktu atau keadaan atau hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga, dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadlân, yaitu saat yang panas, kering dan haus.

Telah kita ketahui bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan di antara sekian macam syariat, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga, dengan pernyataan Allah SWT itu, Imâm al-Qurthubî [627-671 H.] dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan [komunikasi] rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Itulah, dan sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim AS, Taurat untuk Musa AS, Injîl untuk Isa AS serta Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan Ramadlân, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi

Landasan Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan wajib hukumnya bagi muslim yang memiliki kemampuan menjalankannya, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita. Hal ini telah tersirat dalam firman Allah, Sebagai hambanya memiliki hak dan kewajiban dalam menjalankan ibadah puasa. Bulan Ramadhan telah ditentukan setiap tahun dan perayaan kemenangan atau setelah selesai menjalankan ibadah puasa akan diakhiri dengan hari raya ‘idul fitri, inilah keutamaan puasa. Awal yang mulia dan diakhiri hari kemenangan yang sangat mulia.


Ada beberapa landasan yang mewajibkan puasa, diantaranya:

1. Barangsiapa dgn kerelaan hati berbuat kebajikan maka itu lbh baik baginya Karena keutamaan-keutamaan diatas maka Allah mewajibkan kaum muslimin puasa Ramadhan oleh krn memutuskan jiwa dari syahwat dan menghalangi dari apa yg biasa dilakukan termasuk perkara yg paling sulit kewajiban puasa pun diundur sampai tahun kedua Hijriyah setelah hati kaum mukminin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar-syiar Allah maka Allah membimbing mereka utk melakukan puasa dgn bertahap pada awal mereka diberi pilihan utk berbuka atau puasa beserta diberi spirit utk puasa krn puasa masih terasa berat bagi para shahabat Radhiallahu ‘anhum. Barangsiapa yg ingin berbuka kemudian membayar fidyah dibolehkan Allah berfirman yg arti :
“..Berpuasa wajib membayar fidyah memberikan makanan seseorang miskin maka barangsiapa yg mendermakan lbh dgn suka sendiri maka itu lbh baik baginya; bahwa puasa itu lbh baik bagi jika kamu mengetahui.” (Surat Al- Baqoroh : 184)
2. Barangsiapa yg melihat bulan Ramadhan berpuasalahKemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yg menghapus hukum diatas hal ini dikabarkan oleh dua orang shahabat yg mulia : Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa’ Radhiallahu ‘anhum kedua berkata : “Kemudian dihapus oleh ayat : “Bulan Ramadhan itulah bulan yg di dalam diturunkan Al-qur’an yg menjadi petunjuk bagi manusia dan menjadi keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan yg membedakan antara yg hak dan yg bathil maka barang siapa di antara kamu melihat bulan itu hendaklah ia berpuasa dan barangsiapa yg sakit atau dalam perjalanan maka (wajib ia berpuasa) beberapa hari (yang ketinggalan itu) di hari-hari yg lain Allah menghendaki kelapangan bagimu dan Allah tidaklah menghendaki kesulitan bagimu. Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan dan supaya kamu mengagungkan Allah terhadap sesuatu yg Allah telah menunjukan kamu (kepada-Nya) dan mudah-mudahan kamu mensyukuriNya.” (Surat Al- Baqoroh: 185)
Dan dari Ibnu Abi Laila dia berkata : “Shahabat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam telah menyampaikan kpd kami : “Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan terasa memberatkan mereka barangsiapa yg tak mampu dibolehkan meninggal kan puasa dan memberi makan seorang miskin sebagai keringanan bagi mereka kemudian hukum ini dihapus oleh ayat : “Berpuasalah itu lbh baik bagi kalian”. Akhir mereka disuruh puasa. (Diriwayatkan oleh Bukhori secara mu’allaq (8/181- fath) dimaushulkan oleh Baihaqi dalam (sunan) (4/200) sanad hasan).
Sejak itu jadilah puasa salah satu simpanan Islam dan menjadi salah satu rukun agama berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam (yang artinya):
“Islam dibangun atas lima perkara : Syahadata alla ilaaha illallahu wa anna Muhammd rasulullah menegakan shalat menunaikan zakat dan naik haji ke baitul haram serta puasa Ramadhan”. (Diriwayatkan oleh Bukhori (1/47) Muslim (16) dari Ibnu Umar)

Cara Menentukan Awal Ramadhan dan Hari Raya

Penentuan awal dan akhir Ramadhan dapat dilakukan melalui salah satu dari tiga cara di bawah ini:

1. Rukyatul hilal (melihat bulan sabit)
2. Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari
3. Memperkirakan bulan sabit.

Cara pertama: rukyatul hilal
Yaitu melihat hilal (bulan baru/sabit) setelah ijtima’ (konjungsi) dan setelah wujud/muncul di atas ufuk pada akhir bulan dengan mata telanjang atau melalui alat. Cara ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

(لاَ تَصُوْمُوا حتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حتى تَرَوْهُ).

“Janganlah berpuasa (Ramadhan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah berhari raya sehingga kalian melihat hilal.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits lain menegaskan bahwa cara menentukan awal Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit.

(صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ).

”berpuasalah jika telah melihat hilal dan berharirayalah bila telah melihat hilal”. (HR Bukhari dan Muslim).

Cara ini merupakan cara yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh semua orang sepanjang yang bersangkutan tidak termasuk cacat penglihatan. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi umat pada awal keislaman di mana mayoritas kaum muslimin pada waktu itu masih banyak yang belum bisa baca dan tulis.

Jumhur ulama mencukupkan bahwa hasil rukyat yang dilakukan seorang muslim yang dapat dipercaya dan tidak cacat dalam agamanya (adil) dapat dijadikan sebagai landasan untuk memutuskan tentang awal bulan Ramadhan. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Umar dia berkata “bahwa ketika semua orang sedang memantau awal bulan maka sayalah yang melihatnya, lalu saya laporkan kepada Nabi kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan menyuruh seluruh kaum muslimin untuk berpuasa”. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Cara kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari
Ketika para perukyat tidak berhasil melihat hilal pada tanggal 29 bulan Sya`ban baik keadaan langit berawan, mendung atau cerah, maka cara menentukan awal bulan Ramadhan dalam keadaan seperti ini adalah menjadikan bilangan bulan Sya`ban menjadi tiga puluh.

Pandangan ini didasarkan kepada Sabda Nabi

(صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأآملوا عدة شعبان ثلاثين).

Dari Abu Hurairah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” berpuasalah jika telah melihat hilal dan berharirayalah bila telah melihat hilal, apabila terhalang oleh mendung maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (HR Bukhari dan Muslim).

الشهر تسع وعشرون ليلة، فلا تصوموا حتى تروه، فإن غم عليكم فأآملوا العدة ثلاثين

”Bulan (Sya’ban) itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah puasa hingga kalian melihatnya (hilal) apabila terhalang olehmu mendung maka sempurnakan menjadi tiga puluh malam.” (HR Bukhari)

Cara ketiga: Memperkirakan bulan sabit.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
(لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له).

“Janganlah berpuasa (Ramadhan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah berhari raya sehingga kalian melihat hilal, apabila terhalang olehmu mendung maka perkirakanlah” ( HR Bukhari dan Muslim).

Sebagian ulama, seperti; Muthrif bin Abdullah, Abul Abbas bin Suraij dan Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa maksud faqduru lah adalah perkirakanlah bulan sesuai dengan menzilahnya (posisi orbitnya).

Pendapat Abul Abbas Ibnu Siraj dari kalangan ulama Syafi`iyyah, mengatakan bahwa orang yang mengetahui awal Ramadhan melalui ilmu falaqnya, maka dia wajib berpuasa. (lihat al-Majmuk oleh an-Nawawi; 6/279,280).

Cara ketiga untuk penentuan awal bulan mengundang perhatian lebih luas bagi para ulama kontemporer dan ahli dengan berkembangnya ilmu falaq modern. Sebagaimana dikutip oleh Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam risalah Ramadhan di mana sebagian ulama besar pada abad modern ini seperti Ahmad Muhammad Syakir, Mustafa Zarqa` berpandangan bahwa perlunya umat Islam beralih dari cara yang sederhana menuju cara yang lebih modern dan terukur dalam menentukan awal bulan Ramadhan yaitu dengan berpedoman kepada ilmu falaq modern yang mana teori-teori yang dibangun berdasarkan ilmu yang pasti dan perhitungan yang sangat teliti.

Kita mengakomodir antara pendapat ulama salaf dan para ulama kontemporer. Memanfaatkan falaq modern sebagai pendukung melakukan rukyat hilal, dan rukyat hilal sebagai dasar utama penetapan bulan Ramadhan dan Syawal.

Cara Menyempurnakan Puasa

Saudaraku kaum muslimin, agar puasamu sempurna, sesuai dengan tujuannya, ikutilah langkah-langkah berikut ini:

1. Makan sahurlah, sehingga membantu kekuatan fisikmu selama berpuasa. Rasulullah SAW bersabda:

(( تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ ))

“Makan sahurlah kalian, sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat barakah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

(( اسْتَعِيْنُوْا بِطَعَامِ السَّحُوْرِ عَلَى صِيَامِ النَّهَارِ وَبِقَيْلُوْلَةِ النَّهَارِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ ))

“Bantulah (kekuatan fisikmu) untuk berpuasa di siang hari dengan makan sahur, dan untuk shalat malam dengan tidur siang.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya).

Akan lebih utama jika makan sahur itu diakhirkan waktunya, sehingga mengurangi rasa lapar dan haus. Hanya saja harus hati-hati, untuk itu hendaknya anda telah berhenti dari makan dan minum beberapa menit sebelum terbit fajar, agar anda tidak ragu-ragu.

1. Segeralah berbuka jika matahari benar-benar telah tenggelam. Rasulullah r bersabda:

(( لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الفِطْرَ وَأَخَّرُوْا السَّحُوْرَ )) رواه البخاري ومسلم والترمذي.

“Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi).

1. Usahakan mandi dari hadats besar sebelum terbit fajar, agar bisa melakukan ibadah dalam keadaan suci.
2. Manfaatkan bulan Ramadhan dengan sesuatu yang terbaik yang pernah diturunkan di dalamnya, yakni membaca Al-Qur’anul Karim. Sesungguhnya Jibril alaihis salam pada setiap malam di bulan Ramadhan selalu menemui Nabi r untuk membacakan Al-Qur’an baginya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas t).

Dan pada diri Rasulullah r teladan yang baik bagi kita.

1. Jagalah lisanmu dari berdusta, menggunjing, mengadu domba, olok-mengolok serta perkataan mengada-ada. Rasulullah r bersabda:

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya (menahan) dari makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari).

1. Hendaknya puasa tidak membuatmu keluar dari kebiasaan. Misalnya cepat marah dan emosi hanya karena sebab sepele, dengan dalih bahwa engkau sedang puasa. Sebaliknya, mestinya puasa membuat jiwamu tenang, tidak emosional. Dan jika anda diuji dengan seorang yang jahil atau pengumpat, jangan anda hadapi dengan perbuatan serupa. Nasehatilah dia dan tolaklah dengan cara yang lebih baik. Nabi r bersabda:

(( الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمَ صِيَامِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثُ وَلاَ يَصْخَبُ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ )) رواه البخاري ومسلم.

“Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu berpuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata: “Sesungguhnya aku sedang puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ucapan itu dimaksudkan agar ia menahan diri dan tidak melayani orang yang mengumpatnya. Di samping, juga mengingatkan agar ia menolak melakukan penghinaan dan caci maki.

1. Hendaknya anda selesai dari puasa dengan membawa takwa kepada Allah, takut dan bersyukur pada-Nya, serta senantiasa istiqamah dalam agama-Nya.
2. Hasil yang baik itu hendaknya mengiringi anda sepanjang tahun. Dan buah paling utama dari puasa adalah takwa. Sebab Allah berfirman: “ agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 183).
3. Jagalah dirimu dari berbagai syahwat (keinginan), bahkan meskipun halal bagimu. Hal itu agar tujuan puasa tercapai dan mematahkan nafsu dari keinginan.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma berkata:

(( إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَن الكَذِبِ وَالمَآثِمِ وَدَعْ أَذَى الجَارِ، وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِيْنَةٌ يَوْمَ صَوْمِكَ، وَلاَ تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صِيَامِكَ سَوَاءٌ ))

“Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa-dosa. Tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa.”

10. Hendaknya makananmu dari yang halal. Jika kamu menahan diri dari yang haram pada selain bulan Ramadhan maka pada bulan Ramadhan lebih utama. Dan tidak ada gunanya engkau berpuasa dari yang halal, tetapi kamu berbuka dengan yang haram.

11. Perbanyaklah bersedekah dan berbuat kebajikan. Dan hendaknya kamu lebih baik dan lebih banyak berbuat kebajikan kepada keluargamu dibanding pada selain bulan Ramadhan. Rasulullah r adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan ketika bulan Ramadhan.

12. Ucapkanlah bismillah ketika kamu berbuka seraya berdoa:

(( اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ ))

“Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, dan atas rezki-Mu aku berbuka. Ya Allah terimalah daripadaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui([1]).”

Tujuan puasa: Tujuan ibadah puasa adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga ia siap mencari sesuatu yang menyucikannya. Yang di dalamnya terdapat kehidupan yang abadi: mematahkan permusuhan nafsu terhadap lapar dan dahaga serta mengingatkannya dengan keadaan orang-orang yang menderita kelaparan di antara orang-orang miskin. Menyempitkan jalan setan pada diri hamba dengan menyempitkan jalan aliran makanan dan minuman; puasa adalah untuk Tuhan semesta alam, tidak seperti amalan-amalan yang lain, ia berarti meninggalkan segala yang dicintai karena kecintaan kepada Allah ta’ala; ia merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya, sebab para hamba mungkin bisa mengetahui bahwa ia meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa secara nyata, tetapi keberadaan dia meninggalkan hal-hal tersebut karena sembahannya, maka tak seorangpun manusia yang mengetahuinya, dan itulah hakikat puasa.

Petunjuk Rasulullah SAW dalam berpuasa: Petunjuk puasa dari Nabi SAW adalah petunjuk yang paling sempurna, paling mengena dalam mencapai maksud, serta paling mudah penerapannya bagi segenap jiwa.

Di antara petunjuk puasa dari Nabi SAW pada bulan Ramadhan adalah: Memperbanyak melakukan berbagai macam ibadah. Dan jibril Alaihis salam senantiasa membacakan Al-Qur’anul Karim untuk beliau pada bulan Ramadhan. Beliau juga memperbanyak sedekah, kebajikan, membaca Al-Qur’anul Karim, shalat, dzikir, I’tikaf dan bahka beliau mengkhususkan beberapa macam ibadah pada bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lain.

Nabi SAW menyegerakan berbuka dan menganjurkan demikian, beliau makan sahur dan mengakhirkannya, serta menganjurkan dan memberi semangat orang lain untuk melakukan hal yang sama. Beliau menghimbau agar berbuka dengan kurma, jika tidak mendapatkannya maka dengan air.

Nabi SAW melarang orang yang berpuasa dari ucapan keji dan caci maki. Sebaliknya beliau memerintahkan agar ia mengatakan kepada orang yang mencacinya “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”

Beliau melakukan perjalanan di bulan Ramadhan, terkadang beliau meneruskan puasanya dan terkadang pula berbuka. Dan membiarkan para sahabatnya memilih antara berbuka atau berpuasa ketika dalam perjalanan. Beliau pernah mendapatkan fajar dalam keadaan junub sehabis menggauli isterinya maka beliau segera mandi setelah terbit fajar dan tetap berpuasa.

Termasuk petunjuk Nabi SAW adalah membebaskan dari qadha puasa bagi orang yang makan atau minum karena lupa, dan bahwasanya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.

Dan dalam riwayat shahih disebutkan bahwa beliau bersiwak dalam keadaan puasa. Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya Rasulullah r menuangkan air di atas kepalanya dalam keadaan puasa. Beliau juga melakukan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) serta berkumur dalam keadaan puasa. Tetapi beliau melarang orang berpuasa melakukan istinsyaq secara berlebihan

SYARAT WAJIB PUASA

Syarat Wajib Puasa
1. Islam
Dengan demikian orang kafir tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha’ (mengganti) begitulah menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahkan kalaupun mereka melakukannya tetap dianggap tidak sah. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah syarat islam ini syarat wajib atau syarat sahnya puasa? Dan yang melatarbelakangi mereka dalam hal ini adalah karena adanya perbedaan mereka dalam memahami ayat kewajiban puasa, mengenai apakah orang kafir termasuk di dalamnya atau tidak. (baca Surat Al Baqarah ayat 183)

Menurut Ulama Hanafiyah: orang kafir tidak termasuk dalam ketentuan wajib puasa. Sementara jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mereka tetap termasuk dalam setiap firman Allah. Dengan demikian mereka dibebani untuk melakukan semua syariatNya (dalam hal ini mereka wajib memeluk agama Islam kemudian melakukan puasa). Jadi menurut pendapat pertama (Hanafiyah) mereka hanya menaggung dosa atas kekafirannya sementara menurut pendapat kedua (Jumhur Ulama) mereka menanggung dosa kekafiran dan meninggalkan syariat.

Maka jika ada seorang kafir masuk Islam pada bulan ramadhan dia wajib melaksanakan puasa sejak saat itu. Sebagaimana firman Allah “Katakanlah pada orang kafir bahwa jika mereka masuk islam akan diampuni dosanya yang telah lalu” (QS. Al Anfal:38).

2 & 3. Aqil dan Baligh (berakal dan melewati masa pubertas)
Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang gila (tidak berakal) dan orang mabuk, karena mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang sudah masuk dalam konstitusi hukum), sebagaimana dalam hadist:
“Seseorang tidak termasuk mukallaf pada saat sebelum baligh, hilang ingatan dan dalan keadaan tidur”.

4 & 5, Mampu dan Menetap
Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit (tidak mampu) dan sedang bepergian (tidak menetap), tetapi mereka wajib mengqadha’-nya.

Syarat-syarat tersebut di atas mendapat tambahan satu syarat lagi dari Ulama Hanafiyah menjadi syarat yang ke-6 yaitu: Mengetahui kewajiban puasa (semisal bagi orang yang memeluk Islam di negara non muslim).

SYARAT SAHNYA PUASA

1. Menurut ulama Hanafiyah ada 3:
a. Niat
b. Tidak ada yang menghalanginya (seperti haid dan nifas)
c. Tidak ada yang membatalkannya
2. Menurut ulama Malikiyah ada 4:
a. Niat
b. Suci dari haid dan nifas
c. Islam
d. Pada waktunya dan juga disyaratkan orang yang berpuasa berakal.
3. Menurut ulama Syafi’iyah ada 4:
a. Islam
b. Berakal
c. Suci dari haid dan nifas sepanjang hari
d. Dilaksanakan pada waktunya.
(Sedangkan “niat”, menurut Syafi’iyah, dimasukkan ke rukun puasa).
4. Menurut ulama Hambaliyah ada 3:
a. Islam
b. Niat
c. Suci dari haid dan nifas

RUKUN PUASA

A. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab z)
Juga hadits Hafshah, bersabda Rasulullah SAW:

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.

Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah ra, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat. Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah SAW pernah datang kepada ‘Aisyah ra pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim). Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman. Ini adalah pendapat jumhur.

Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam. Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama.


B. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab z bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.

Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas ra bahwa Rasulullah n bersabda:

الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)

Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf hanya perkataan Ibnu ‘Abbas ra dan bukan sabda Nabi SAW. Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.

Mengapa Puasa Bikin Mengantuk di Siang Hari... ???

Mengapa Puasa Bikin Mengantuk di Siang Hari... ???

Anda mengalami rasa kantuk tak tertahankan saat puasa? Hal itu memang wajar.
Namun, biasanya Anda bisa minum kopi untuk mendongkrak energi. Tapi, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kondisi ini kala berpuasa?
Baca artikel ini untuk mengetahui penyebab dan solusinya!
Menurut dr. Samuel Oetoro, ahli gizi, penyebab munculnya rasa kantuk yang hebat saat berpuasa adalah karena rendahnya asupan zat besi dalam tubuh. "Hal ini mungkin saja terjadi jika Anda kurang menghiraukan mutu gizi makanan selama berpuasa," ujarnya.

Untuk mengantisipasi hal ini, dr Samuel menyarankan, sebaiknya banyak mengonsumsi makanan yang kaya zat besi, seperti tempe, oncom, kacang-kacangan, teri kering, sayuran daun hijau. Dan juga hati serta daging.

Jadi, buah-buahan dan sayuran hendaknya jangan dilupakan saat sahur dan berbuka. Selain bermanfaat sebagai pencuci mulut, buah segar kaya vitamin C yang dapat memacu efektivitas penyerapan zat besi. Seperti
jambu biji, pepaya, jeruk, mangga, nanas.

Dan, untuk menjaga stamina tubuh, dr. Samuel juga menganjurkan, "Konsumsilah air putih dalam jumlah yang cukup. Saat puasa tubuh lebih peka terhadap kekurangan air dibanding dengan kekurangan makanan."
Minum air putih semampunya pada saat sahur, tapi jangan sampai membuat kekenyangan. Dengan minum air putih yang mencukupi dapat mencegah kekurangan cairan tubuh (dehidrasi), sehingga badan bisa tetap segar. Batasi makanan-minuman manis pada saat sahur karena gula justru akan memboroskan sediaan energi. Gula hanya membuat kita segar sesaat, tapi setelah itu tubuh akan segera layu.

Selama saat makan malam yang panjang ini pasokan air minum hendaknya diperhatikan pula. Guna melakukan kegiatan rutin harian, setiap orang rata-rata menghabiskan 2.000 Kalori. Untuk menggantikan setiap 1 Kalori energi diperlukan asupan air 1 ml. Dengan demikian, sejak saat berbuka hingga sahur kita harus minum sedikitnya 2.000 - 2.500 ml (1 gelas = 250 ml), agar tubuh tetap segar sepanjang hari.

Manfaat Puasa Untuk Kesehatan

Kesehatan merupakan nikmat yang tidak dapat dinilai dengan harta benda. Untuk menjaga kesehatan, tubuh perlu diberikan kesempatan untuk istirahat. Puasa, yang mensyaratkan untuk tidak makan, minum, dan melakukan perbuatan-perbuatan lain yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.

Puasa dapat mencegah penyakit yang timbul karena pola makan yang berlebihan. Makanan yang berlebihan gizi belum tentu baik untuk kesehatan seseorang. Kelebihan gizi atau overnutrisi mengakibatkan kegemukan yang dapat menimbulkan penyakit degeneratif seperti kolesterol dan trigliserida tinggi, jantung koroner, kencing manis (diabetes mellitus), dan lain-lain.

Pengaruh mekanisme puasa terhadap kesehatan jasmani meliputi berbagai aspek kesehatan, diantaranya yaitu :

Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan,

Pada hari-hari ketika tidak sedang berpuasa, alat pencernaan di dalam tubuh bekerja keras, oleh karena itu sudah sepantasnya alat pencernaan diberi istirahat.

Membersihkan tubuh dari racun dan kotoran (detoksifikasi). Dengan puasa, berarti membatasi kalori yang masuk dalam tubuh kita sehingga menghasilkan enzim antioksidan yang dapat membersihkan zat-zat yang bersifat racun dan karsinogen dan mengeluarkannya dari dalam tubuh.

Menambah jumlah sel darah putih. Sel darah putih berfungsi untuk menangkal serangan penyakit sehingga dengan penambahan sel darah putih secara otomatis dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh,

Memperbaiki fungsi hormon, meremajakan sel-sel tubuh,

Meningkatkan fungsi organ tubuh

Disunahkan agar berbuka puasa diawali dengan makan buah kurma, atau dengan buah-buahan dan minuman yang manis seperti madu. Ajaran ini mengandung makna kesehatan karena buah-buahan dan minuman yang manis merupakan bahan bakar siap pakai yang dapat segera diserap oleh tubuh untuk memulihkan tenaga setelah seharian tubuh tidak disuplai oleh makanan dan minuman. Glukosa yang terkandung di dalam buah-buahan dan minuman yang manis merupakan sumber energi utama bagi sel-sel tubuh. Glukosa efektif dibutuhkan ketika tubuh memerlukan masukan energi yang diperlukannya.

Anjuran sahur bukan semata-mata untuk mendapatkan tenaga yang prima selama menunaikan ibadah puasa, melainkan juga mengandung makna bahwa puasa perlu persiapan agar selama berpuasa produktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari tidak terganggu.

Pada waktu buka puasa dan sahur suplai gizi perlu diusahakan memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan tubuh, meliputi enam jenis zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Pentingnya keseimbangan gizi sering kurang disadari karena hasilnya tidak terlihat langsung. Seseorang yang kekurangan zat gizi tertentu sama bahayanya dengan mereka yang kelebihan gizi tertentu. Makan yang seimbang baik dalam porsi maupun gizi akan mempengaruhi susunan saraf pusat dan kondisi biokimia tubuh. Makan yang seimbang adalah makan yang tidak kekurangan tetapi juga tidak berlebihan, yang disesuaikan dengan usia, kualitas dan kuantitas gerak serta kondisi tubuh.

Pada beberapa orang, pada saat puasa mempunyai keluhan seperti merasa lemas dan lesu atau stamina menurun, juga gangguan pencernaan seperti perut kembung dan gangguan lambung. Beberapa bahan pangan tertentu seperti madu, jahe, kencur, temu lawak, dan bahan-bahan lainnya dapat digunakan untuk mengatasi stamina menurun, kembung, dan gangguan lambung pada saat puasa.

Berikut beberapa bahan alami yang dapat digunakan agar puasa tetap fit dan segar.

1.MADU

Khasiat : meningkatkan stamina serta mempertahankan stabilitias tubuh agar tetap sehat dan bugar, melancarkan proses metabolisme, untuk kecantikan dan awet muda, mencegah gangguan pencernaan, dan lain-lain

2.KURMA

Khasiat : meningkatkan stamina dan energi, mencegah & mengatasi anemia (kurang darah), melancarkan pembuangan, sebagai penenang (merileksasi sel otot tubuh yang tegang), mencegah pendarahan rahim.

3.JAHE (Zingiber officinale Rosc.)

Khasiat : meningkatkan stamina, mengatasi perut kembung, masuk angin, mual, muntah, sakit kepala, pusing, demam, dan lain-lain

4.TEMU LAWAK (Curcuma xanthorrhiza)

Khasiat : kolesterol tinggi, meningkatkan stamina tubuh/tonikum, kurang darah, radang lambung/maag, perut kembung, dan lain-lain.

5.KENCUR (Kaempferia galanga)

Khasiat : meningkatkan stamina tubuh, menghilangkan bau mulut, radang lambung, kembung, mual, muntah, masuk angin, dan lain-lain.

6.Ubi Jalar Merah (Ipomoea batatas)

Khasiat : perut kembung, peluruh kentut, masuk angin, gangguan lambung

7.KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

Khasiat /efek ; radang lambung, memperlancar pengeluaran empedu sehingga mengurangi perut kembung, mual, dan rasa begah di perut.

8.KAPULAGA (Amomum cardamomum)

Khasiat : untuk radang lambung, mual, muntah-muntah, perut sebah dan kembung.

9.Kayu Manis (Cinnamomum burmanii)

Khasiat : untuk radang lambung, mual, muntah-muntah, perut sebah dan kembung.